Sabtu, 20 Februari 2010
Penjelasan Pertanyaan Dinas Perhubungan Pemda Tentang Wewenang PPNS DLLAJ
I. PENYITAAN SIM, STNK, DAN KENDARAAN BERMOTOR OLEH APARAT DISHUB / DLLAJ
Pemikiran Dishub
SIM dan STNK adalah termasuk Barang Bukti yang dapat disita oleh Aparat Dishub sebab mengacu pada Pasal 39 KUHAP SIM / STNK adalah termasuk benda yang dapat dikenakan penyitaan sebagai Barang Bukti.
Maka PPNS dapat pula melakukan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan dengan menyita SIM / STNK.
Pertanyaan :
Mengapa ada penafsiran bahwa DLLAJ / Dishub tidak boleh menyita SIM, STNK, dan kendaraan bermotor ?
JAWABAN POLRI:
1. Yang benvenang melakukan tindakan penyitaan
Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana memberikan pengertian "penyitaan" adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak begerak, berwujud atau tidak berwujud untuk pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam konteks ini maka penyitaan harus hanya dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana.
2. Pengertian Penyidik
Berdasarkan Pasal 6 ay at (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah :
a Pejahat Polisi Negara Republik Indonesia ;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat 2 ditegaskan : "Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan petty idik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) humf a".
Perlu diingat bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut, tidak semua aparat instansi / departemen (aparat eksekutif) dapat diangkat sebagai penyidik karena aparat eksekutif bukanlah alat negara penegak hukum. Tetapi karena keahlian PNS tertentu di bidang tugas tertentu, maka ia diangkat sebagai Penyidik. Jadi, aparat DLLAJ hukan PPNS kecuali ia diangkat sebagai Penyidik. PPNS DLLAJ hanya PNS tertentu saja, yaitu PNS yang diangkat sebagai Penyidik. Konsekuensinya, wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan hanya dimiliki oleh PNS DLLAJ TERTENTU SAJA. Artinya, aparat DLLAJ yang tidak diangkat sebagai Penyidik tidak boleh melakukan penyidikan. Jika penyidikan dilakukan oleh PNS yang bukan Penyidik, maka tindakannya batal demi hukum sebab UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan mempersyaratkan hal tersebut dengan menunjuk ketentuan KUHAP.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 14/1992 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, menyebutkan "Selain pejabat Polri, PNS tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan".
3. Persyaratan PNS untuk diangkat sebagai penyidik.
"PNS tertentu" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP jo Pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP, diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :
a. Persyaratan Materiil (Pasal 2 ayat (1) huruf b PP No. 27 Tahun 1983) sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II / b ).
b. Persyaratan formil (Pasal 2 ayat (5) PP No. 27 Tahun 1983). Persyaratan formil adalah berkaitan dengan legalitas kedudukan PNS tertentu sebagai penyidik, yakni:
1) Harus diangkat oleh Menteri Kehakiman (sekarang oleh Menteri Hukum Dan HAM RI) atas usul dari departemen yang membawahkan Pegawai Negeri tertentu ;
2) Pengangkatan oleh Menteri dilakukan setelah ada rekomendasi dari Jaksa Agung dan Kapolri (penjelasan Pasal 2 ayat (5) PP No. 27 / 1983).
4. Kewenangan PPNS DLLAJ Dalani Proses Penyidikan
Pasal 53 ayat (2) UULLAJ No. 14 / 1992 membatasi lingkup operasional wewenang PPNS DLLAJ dalam 6 (enam) macam hak berbuat atau melakukan tindakan, dan 2 (dua) macam kewajiban atas penggunaan hak tersebut yaitu :
a. Hak Berbuat / Melakukan Tindakan :
1) memeriksa pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
2) melarang atau menunda pengopersian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan ;
3) meminta keterangan dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan atau pengusaha angkutan umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
4) menyita tanda uji kendaraan yang tidak sah ;
5) memeriksa penjinan angkutan umum di terminal;
6. memeriksa berat kendaraan beserta muatannya.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf f menyebutkan :
"Alat yang digunakan untuk memeriksa berat kendaraan beserta
muatannya dapat berupa alat untuk menimbang yang dipasang
secara tetap pada suatu tempat tertentu atau alat yang dapat
dipindah-pmdahkan ".
Arti penjelasan ini adalah, bahwa untuk memeriksa berat kendaraan
diharuskan menggunakan alat untuk menimbang.
b. Kewajiban:
1) membuat dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan atas setiap tindakannya tersebut diatas, yaitu tentang :
a) Pemeriksaan benda (kendaraan bermotor) ;
b) Pemeriksaan tersangka (pengemudi, atau pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan umum);
c) Penyitaan Surat (Tanda Uji Kendaraan yang tidak sah);
d) Penghentian penyidikan.
2.) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut:
a) Persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
b) Perijinan angkutan umum.
5. Batas kewenangan PPNS DLLAJ
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa garis pembatas langkah penyidikan PPNS DLLAJ ada pada Pasal 53 ayat (2) huruf g, yaitu sejauh membuat Berita Acara atas tindakannya dalam menjalankan wewenang yang disebutkan dalam huruf a s/d f sedangkan obyek penyidikannya ditegaskan dalam huruf h Pasal tersebut yakni tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, serta perijinan angkutan umum.
6. Dengan demikian jelas bahwa :
a. Undang-Undang tidak memberikan kewenangan melakukan tindakan penyitaan SIM dan STNK maupun kendaraan bermotor kepada PNS DLLAJ maupun PPNS pada instansi DLLAJ sebab dalam pasal 53 UU No. 14 / 1992 tentang LLAJ tidak ditemukan ketentuan yang memberi kewenangan itu kepada DLLAJ.
b. Sepanjang prinsip negara hukum masih menjadi sendi ketatanegaraan kita, konsekuensinya adalah bahwa wewenang aparat pemerintah yang meletakkan kewajiban di atas warga masyarakat, maka wewenang itu harus ditemukan di dalam Undang-Undang, dan dalam penegakan hukumnya asas kepastian hukum harus diutamakan, tidak boleh mengadakan penafsiran secara sendiri-sendiri.
II. PENAMAAN / ISTILAH YANG DIGUNAKAN UNTUK CATATAN PENYIDIK
Pemikiran Dishub
Mengacu pada ketentuan Pasal 207 ayat (1) huruf a dan Pasal 211 KUHAP, untuk perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan tidak diperlukan Berita Acara Pemeriksaan
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Polri dengan penamaan format catatan pelanggaran Lalu lintas jalan tertentu yang dibentuk, dinamakan dan dipergunakan oleh jajaran aparat DLLAJ dengan nama "Catatan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan" (CP LLAJ) ? Sebab Polri menyebutnya dengan istilah "Tilang".
JAWABAN POLRI :
1. "Tilang" adalah akronim dari "Bukti Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu dengan suatu format administrasi hukum yang dicipta oleh unsur-unsur sistem peradilan pidana yaitu Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri, dengan membuat kesepakatan bersama mengenai Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 211 dan Pasal 212 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dalam rangka penerapan ketentuan pidana dalam UU No. 14 Tahun 1992 Tentang LLAJ.
Tujuan dari instrumen hukum ini adalah untuk memudahkan masyarakat melaksanakan sanksi pidana Pelanggaran Lalu Lintas Jalan sekaligus merupakan solusi dalam menerapkan ketentuan ancaman pidana denda dalam UU LLAJ yang sedemikian tingginya sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi kemampuan masyarakat di tiap daerah hukum.
Untuk memahami latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis penerapan "Sistem Tilang" memerlukan penjelasan yang komprehensif secara teoritis, Untuk itu dalam kesempatan pendidikan / pelatihan bidang Penegakan Hukum Lantas hal ini dapat diperoleh melalui pembelajaran terstruktur di Pusdik Lantas Polri, dimana aparat DLLAJ juga diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan / pelatihan dimaksud.
2. Jika jajaran Ditjen Hubdat/Dishub menggunakan istilah "CP LLAJ", itu merupakan penamaan semata, tidak masalah, sepanjang format tersebut memenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan KUHAP dan berfungsi sebagai instrumen penyelesaian perkara baik secara formil maupun materiil dan dapat diterima dalam sistem peradilan pidana, serta diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai suatu instrumen hukum (memiliki kekuatan berlaku secara formil dan materiil).
3. PROSEDUR PENYERAHAN BERKAS PERKARA KE PENGADILAN
Pemikiran Dishub
Memperhatikan ketentuan Pasal 205 ay at (2) dan Pasal 211 sampai dengan Pasal 216 KUHAP, maka catatan pelanggaran yang dibuat oleh PPNS Dishub/LLAJ wajib hukumnya diserahkan langsung ke Pengadilan tanpa harus melalui Penyidik Polri.
TANGGAPAN POLRI
Pemikiran yang demikian adalah keliru dan melanggar hukum, karena KUHAP telah menentukan bahwa acara proses pidana yang dilaksanakan oleh penyidik Polri dan PPNS adalah:
1. PPNS wajib melaporkan kepada penyidik Polri bila PPNS melakukan penyidikan, begitu juga apabila tindak pidana telah selesai disidik oleh PPNS ia segera rnenyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Sebaliknya, diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya penyidik Polri wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan kepada PPNS sejak awal penyidikan (Pasal 107 KUHAP).
2. Dalam hal PPNS melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum maka PPNS memberitahukan hal itu kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 109 KUHAP).
Dalam rangka menjunjung tinggi supremasi hukum maka baik pemyidik, pengacara, penuntut umum dan hakim pengadilan harus berpedoman kepada ketentuan UU No. 8 Tahun 1981 sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara pidana.
IV. MEMBERHENTIKAN KENDARAAN
Pemikiran Dishub
Dengan menafsirkan Pasal 111 KUHAP (tertangkap tangan), Penyidik PNS wajib dan secara otomatis melekat pada dirinya sebagai petugas yang berwenang dalam rangka tugas memberhentikan kendaraan yang telah melakukan pelanggaran lalu lintas jalan tanpa menunggu Polisi / Korwas.
TANGGAPAN POLRI
1. Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai kewenangan dalam tugas ketertiban, dan ketentraman umum wajib menangkap tersangka untuk diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik (Pasal 111 ayat (1) KUHAP).
2. Dasar kewenangan penyidik PNS DLLAJ dalam melakukan tindakan terhadap tindak pidana di bidang lalu lintas adalah Pasal 53 UU No. 14 tahun 1992 tentang LLAJ yang telah merumuskan sejumlah 8 kewenangan sebagaimana telah diuraikan pada jawaban atas pertanyaan No. I tersebut di atas. Dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan adanya wewenang PPNS DLLAJ untuk menghentikan kendaraan
3. Pemeriksa yang berhak menghentikan kendaraan bermotor / pengemudi.
Pasal 2 PP No. 42 Tahun 1992 Tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan menyatakan, pemeriksaan dilakukan oleh Polri dan Pegawrai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kualifikasi tertentu di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pertanyaan pokok yang perlu dalam pembahasan ini adalah, ntengapa PPNo. 42 /1993 menyertakan Polri dalam pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan? Atau, Dapatkah Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan dilaksanakan secara sendiri/mandiri oleh PNS LLAJ ?
Kunci untuk menjawab pertanyaan ini terletak dalam Pasal 7 PP No. 42 / 1993 , yang berbunyi:
"Polisi Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di jalan, berwenang untuk:
a. menghentikan kendaraan bermotor;
b. meminta keterangan kepada pengemudi;
c. melakukan pemeriksaan terhadap surat izin mengemudi, surat tanda
nomor kendaraan, surat tanda coba kendaraan, tanda nomor kendaraan
atau coba kendaraan bermotor.
Selanjutnya Pasal 8 mententukan :
"Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor dijalan, berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan terhadap tanda bukti lulus uji;
b. melakukan pemeriksaan terhadap flsik Kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufb.
Ketentuan pasal 7 PP No. 42 / 1993 tersebut adalah merupakan cerminan pengakuan PP ini terhadap kewenangan Polri yang melekat pada jabatan Polri (setiap anggota Polri) sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang No. 8 / 1981 (KUHAP) dan Undang-Undang No. 2 / 2002 tentang Polri. Sebab kewenangan yang disebutkan dalam Pasal 7 PP No. 42 / 1993 tersebut adalah wewenang yang diberikan KUHAP kepada Polri dalam melaksanakan kewajiban sebagai penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 KUHAP. Demikian juga di dalam UU No. 2/2002 Tentang Polri, wewrenang menyuruh berhenti seseorang serta memeriksa tanda pengenal diri, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, tertulis secara tegas dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf e UU Polri tersebut. Perlu diketahui, bahwa tindakan hukum "menyuruh berhenti seseorang" hanya diberikan oleh Undang-Undang kepada Polisi, dan kewenangan Kepolisian yang demikian berlaku secara universal.
Dapatkah PNS LLAJ menghentikan kendaraan untuk diperiksa? Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa wewenang menyuruh berhenti seseorang merupakan kewenangan Polri sehingga Undang-Undang tidak memberikan kewenangan itu kepada PNS. Maka Sepanjang prinsip negara hukum ntasih ntenjadi sendi ketatanegaraan kita, konsekuensinya adalah bahwa wewenang penierintahan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang tidak dapat ditukar-tukarkan. Artinya :
a. Meskipun pemeriksaan kendaraan bermotor dilaksanakan dengan cara gabungan antara Polri dan aparat DLLAJ, yang berwenang menghentikan kendaraan bermotor/pengemudi hanyalah petugas Polri, dan tidak boleh oleh yang lain.
b. Aparat DLLAJ akan dapat mengoperasionalkan kewenangannya setelah Polri menggunakan kewenangannya menghentikan pengemudi kendaraan.
c. Meskipun aparat DLLAJ yang melakukan pemeriksaan adalah PPNS, ia tidak berwenang menghentikan kendaraan bermotor sebab dalam pasal 53 UU No. 14 /1992 tentang LLAJ maupun di dalam PP No. 42 / 1993 tidak ditemukan ketentuan yang memberi kewenangan itu kepada DLLAJ.
V. KEDUDUKAN PPNS LLAJ
Pemikiran Dishub
1. Kedudukan penyidik Polri dan PPNS adalah bersifat mandiri,masing-masing tidak saling membawahi dan melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang masing-masing yang mengamanatkannya.
2. Dapat ditegaskan baliwa penyidik Polri-lah yang membantu PPNS, bukan sebaliknya yang selama ini berkembang pemahaman bahwa PPNS sebagai pembantu penyidik Polri. Hal ini berdasarkan pemahaman DLLAJ terhadap Pasal 107 KUHAP beserta penjelasannya yang berbunyi iwPenyidik Polri diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada PPNS, untuk itu penyidik PNS sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu kepada penyidik Polri.
TANGGAPAN POLRI
Pertanyaan pokok dalam pembahasan wewenang PPNS DLLAJ sebagai Penyidik perlu dirumuskan seperti ini : mengapa pembuat Undang-Undang menempatkan aparat DLLAJ sebagai Penyidik, dan sejauhmana kewenangan penyidikan diberikan oleh UU No. 14 Tahun 1992 kepada PPNS DLLAJ ?,
1. Alasan pemberian w^ew?enang khusus untuk melakukan penyidikan kepada PNS tertentu di lingkungan departemen yang membawahkan DLLAJ, adalah sebagaimana ditegaskan pada Bagian Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU No. 14 /1992 Tentang LLAJ yang berbunyi :
"Penyidikan pelanggaran terhadap persyaratan teknis dan laik jalan memerlukan keahlian, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan disamping Pegawai yang biasa bertugas menyidik tindak pidana. Petugas dimaksud adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang membawahi bidang lalu lintas dan angkutan jalan ".
Makna ketentuan tersebut sangat jelas, bahwa "atribut penyidik" yang disandang oleh PNS tertentu di lingkungan DLLAJ adalah Penyidik dalam arti terbatas yang berfungsi untuk mengefektifkan Penyidik Polri, artinya, tugas yang menjadi tanggung jawab PPNS DLLAJ dalam proses penyidikan itu hanya dalam lingkup persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, karena alasan memberi wewenang khusus padanya untuk melakukan penyidikan adalah keahliannya di bidang teknis kendaraan bermotor.
2. Pertanyaan selanjutnya dalam konteks ini adalah, siapakah yang mempertanggun&jawabkan tindakan PPNS DLLAJ ? atau dengan pertanyaan : kepada siapakah Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh PPNS DLLAJ diserahkan dan kepada siapa diberi pemberitahuan bahwa penyidikan dihentikan karena tidak cukup bukti ?
Kewenangan PPNS secara yuridis operasional mengandung konsekuensi pada hubungan fungsional antara Penyidik Polri dengan PPNS yang memberikan atribut kepada Penyidik Polri sebagai atasan fungsional dari PPNS. Hal ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 107 dan Pasal 109 KUHAP.
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 107 dan Pasal 109 KUHAP maka jelas, tanggungjawab yuridis justisiil atau tanggungjawab proses peradilan pidana dari langkah-langkah tindakan PPNS DLLAJ dalam penyidikan berada pada atasan fungsionalnya yaitu Penyidik Polri, dalam hal ini Penyidik Polisi Lalu Lintas. Bagian penjelasan Pasal 53 ayat (3) UU LLAJ No. 14 / 1992 menegaskan hal itu : "Pelaksanaan penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pemndang-undangan yang berlaku antara lain Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana".
VI. MENGGUNAKAN LAMPU WARNA BIRU DAN SIRENE SERTA PENGAWALAN
Pernikiran Dishub :
1. Lampu rotator dan bunyi sirine menurut aparat Dishub dapat dipasang / digunakan pada kendaraan DLLAJ / Dishub dan Satpol PP karena aparat tersebut adalah juga penyidik (PPNS), sehingga rotator dan sirine diperlukan untuk penyidikan.
2. Petugas Penegak Hukum tertentu yang dimaksud dalam Pasal 66 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi adalah juga DLLAJ sebagai "Penegak Hukum Tertentu".
3. POM, TNI bukanlah petugas penegak hukum tertentu.
4. Pengawalan oleh petugas yang berwenang, yang dilengkapi dengan rotator, sirine atau tanda-tanda lainnya adalah boleh saja oleh Dishub / DLLAJ.
TANGGAPAN POLRI:
1. Perlengkapan Rotator dan atau Sirine. Pada Kendaraan Bermotor Petugas
Ada kalanya penggunaan rotator dan sirene pada kendaraan bermotor penyelidik/penyidik dibutuhkan dalam kegiatan mengejar pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan/criminal) karena memerlukan prioritas jalan / lalu lintas atau sedang melakukan pengawalan tahanan dan membutuhkan kecepatan mencapai tujuan dalam pengawasan yang ketat.
Akan tetapi berkaitan dengan fungsi PNS DLLAJ sebagai penyidik tentu saja tidak memerlukan peralatan tersebut karena :
1. Pasal 53 UU No. 14 Tahun 1992 tentang LLAJ yaitu peraturan yang menjadi dasar kewenangan PPNS DLLAJ tidak merumuskan adanya kewenangan PPNS DLLAJ untuk melakukan penghentian kendaraan bermotor ataupun mengejar orang / tersangka sebab wewenang tersebut hanya diberikan undang-undang kepada Polri.
2. Aparat DLLAJ melaksanakan kewenangannya memriksa tanda bukti lulus uji dan kelaikan fisik kendaraan, adalah setelah anggota Polri menghentikan Kendaraan Bermotor / Pengemudi (Pasal 7 dan Pasal 8 PPNo. 42 Tahun 1993).
Tugas Dan Wewenang Pengawalan Lalu Lintas
a. Bahwa Pengawalan Lalu Lintas pada hakikatnya adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Polisi Lalu Lintas tertentu yaitu yang bertugas sebagai Petugas Pengawal dengan menggunakan sarana kendaraan tertentu dan cara bertindak tertentu dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang Polri yang diperintahkan Undang-Undang untuk menjamin keamanan, ketertiban, perlindungan dan pelayanan kepada warga masyarakat atau Pemerintah, yang dilaksanakan secara terus menerus dalam satu rangkaian gerak pindah obyek yang dikawal melalui jalan sehingga terhindar dari gangguan, selamat dari ancaman dan sampai di tujuan dengan lancar, tertib, terlindungi dan aman.
b. Bahwa melaksanakan tugas Pengawalan Lalu Lintas bukanlah sekedar menggiring kendaraan lain yang dikawal dengan membunyikan sirene yang meraung-raung dan atau lampu yang berputar-putar, melainkan harus dilaksanakan sesuai dengan nornia (ukuran yang berlaku menurut hukum), standar (ukuran baku yang dianut / digunakan oleh Kepolisian secara universal), prosedur (cara pelaksanaan / taktik bertindak menurut manajemen tugas bersama unit pendukung), dan kriteria (ukuran yang digunakan untuk menilai hakikat / bobot ancaman yang disesuaikan dengan penugasan dan sarana yang digunakan).
c. Tugas Pengawalan Lalu Lintas merupakan perintah Undang-Undang kepada Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b yang berbunyi :
" Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
1) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan ;
2) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
d. Bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas tersebut, Pasal 15 ayat (1) huruf e UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri memberikan wewenang kepada Polri untuk "mengeluarkan Peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian".
Oleh karena wewenang tersebut diperoleh Polri secara langsung dari redaksi Pasal Undang-Undang, maka wewenang itu bersifat atributif atau bersifat asli dan karenanya memberi hak dan kewajiban kepada Polri menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang dengan mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengawalan Lalu Lintas.
e. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 15 ayat (1) huruf e UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri, Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengawalan Lalu Lintas adalah sebagaimana telah diatur dalam lampiran Surat Keputusan Direktur Lalu Lintas Polri No.Pol: Skep/29/IX/2005 tanggal 22 September 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Polisi Lalu Lintas (Vademikum Polisi Lalu Lintas).
f. Bahwa Kawal Kehormatan hanya diperlakukan bagi Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia dan Wakil Presiden Negara Republik Indonesia serta Kepala Negara dari Negara Asing yang sedang melaksanakan kunjungan Kenegaraan di Indonesia, yang pengaturannya dikoordinir oleh Pasukan Pengaman Presiden dan Menteri Sekretaris Negara.
g. Sedangkan kawal keamanan terhadap pejabat tertentu atau person / orang tertentu dan atau benda / obyek tertentu hanya dapat dilaksanakan oleh Polri sesuai perintah Undang-Undang.
Tugas Pengawalan Adalah Tugas Profesional
a. Profesi adalah pekerjaan tertentu yang dikuasai karena keahlian, kecakapan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan khusus dan persyaratan khusus yang mendapat legalitas dari negara/Pemerintah.
b. Tanggung jawab profesional atas keahlian dan kecakapannya melahirkan kewenangan/kekuasaan tersendiri sehingga memiliki monopoli atas keahliannya itu. Inilah makna kompetensi yang dimiliki oleh para profesional.
c. Bahwa berdasarkan Pasal 31 dan Pasal 32 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri, anggota Polri harus memiliki kemampuan profesi yang dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan serta pengembangan pengalaman di bidang teknis Kepolisian, dan terikat dalam satu ikatan moral yaitu kode etik profesi Polri.
d. Tugas pengawalan harus dilakukan oleh aparat negara yang profesional yaitu personel/petugas yang terlatih/terdidik di bidang pengawalan sehingga ia cakap dan mahir menggunakan sarana pengawalan, memiliki inteligensia yang tinggi menganalisis situasi, memiliki kekuatan fisik yang terlatih dan postur tubuh yang sesuai dengan sarana yang digunakan, terampil mengambil keputusan dalam situasi darurat, serta memiliki kompetensi melakukan tindakan hukum karena kewenangannnya itu mendapat legalitas dari Undang-Undang.
e. Di dalam negara hukum cara aparatur Pemerintah memperoleh wewenang harus berasal dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku karena berkenaan dengan tanggungjawab yuridis dari penggunaan wewenang tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan pemerintahan yang otoritasnya dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar (wewenang itu konstitusional).
VII. PENEGAK HUKUM DI BIDANG LLAJ BERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
Pernikiran Dishub
1. Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda maka : bidang perhubungan merupakan urusan wajib dan harus diselenggarakan oleh Pemda Provinsi / Kabupten / Kota termasuk penegakan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas jalan tertentu / penyidikan seluruh tindak pidana LLAJ.
2. Berdasarkan Pasal 237 UU Pemda tersebut yang berbunyi :
" Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini".
Maka menurut Dishub semua Peraturan Perundang-undangan lain termasuk UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri wajib menyesuaikan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.
TANGGAPAN POLRI:
1. Jajaran Dishub perlu memahami secara utuh mengenai pengertian dari penegak hukum yang dimaksud dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur oleh UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2. Aparat Dishub adalah Aparat Eksekutif, bukan Alat Negara Penegak Hukum . Sedangkan PNS DLLAJ yang memiliki atribut sebagai Penyidik (PPNS DLLAJ), secara fungsional berada di bawah Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Polri
3. Untuk memahami maksud dari Pasal 237 UU No. 32 Tentang Pemda tersebut, dianjurkan agar membaca dengan tuntas bagian penjelasan Pasal 237 tersebut yang berbunyi : "Yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan dalam ketentuan ini antara lain : Peraturan Perundang-undangan sektoral seperti UU kehutanan, UU pengairan, UU Perikanan, UU Pertanian, UU Kesehatan, UU Pertanahan, dan UUPerkebunan.".
PENUTUP
1. Dalam rangka peningkatan profesionalitas PPNS DLLAJ / Dishub Pemda perlu peningkatan koordinasi dengan penyidik Polri / Polisi lalu Lintas agar terwujud harmonisasi dan sinkronisasi setiap tindakan dalam penegakan hukum.
2. Diharapkan jajaran Dishub meningkatkan pelaksanaan tugasnya sesuai fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, seperti uji kendaraan bermotor (keur), ijin trayek angkutan penumpang umum, pengadaan rambu-rambu lalu lintas dan traffic light, fungsionalisasi jembatan timbang untuk pengawasan batas muatan dan sebagainya, sehingga upaya penegakan hukum yang diupayakan Polri dan PPNS dapat mewujudkan kepastian, keadilan dan kemanfataan bagi masyarakat yang bermuara pada tegaknya kewibawaan Negara Republik Indonesia.
3. Disarankan agar jajaran Dishub menyelenggarakan diskusi atau seminar atau pencerahan pemahaman hukum khususnya di bidang ketatanegaraan dan atau hukum pemerintahan guna memahami sistem penataan tugas dan fungsi lembaga-l embaga alat negara, departemen, dan institusi-institusi yang ada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena hal tersebut terkait dengan pemahaman tentang kostitusionalitas dan setiap Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tugas pokok fungsi dan peranan masing-masing dalam mencapai tujuan negara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Thank u., informasi yg berharga khususny pngemdara mobil pick up dan sejenisny
Baik2 aja, semua perbuatan dan perlakuan harus fair, tidak mengambil kesempatan. Tanggungjawab kepada Tuhan yg utama, semoga sadar......
Tunjukan Uu lalu Lintas no 22 tahun 2009 tentang TNI dan PM boleh mengunakan lampu warna Biru, jd biar adil....knp nga berani menindak
Posting Komentar