SEKALI MELANGKAH PANTANG MENYERAH SEKALI TAMPIL HARUS BERHASIL JIWA RAGAKU DEMI KEMANUSIAAN

Selasa, 02 Maret 2010

SEJARAH KOTA TEBING TINGGI-SUMUT

Kerajaan Padang

Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai Bahilang itu mulai dihuni sebagai tempat tinggal pada tahun 1864. Inilah pernyataan resmi pertama kali yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi.” Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.

Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca tahun 1864. Dimana dalam tahun-tahun itu, berdasarkan penuturan lisan yang sambung menyambung, seorang bangsawan dari Wilayah Bandar Simalungun ( sekarang masuk wilayah Pagurawan )bernama Datuk Bandar Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari hunian baru, hingga kemudian mereka mendarat dan bermukim di sekitar aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak – sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Kec. Rambutan.

Namun kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena dia terus saja diburu oleh tentara kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar kajum pun memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi. Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama, Kec. Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing Tinggi.

Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tapi karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya bersama pengikutnya melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Lalu dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam peperangan itu, dia, bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.

Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah taklukan Kerajaan Deli. Penanda tanganan perjanjian itu, terang kertas kerja tersebut, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah sampan bernama “Sagur” di sekitar muara sungai Bahilang.

Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan OK Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali historisitas berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, kesemua tokoh itu sudah lama wafat, sehingga saat ini kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu.

Pertanyaan yang paling mendasar bagi kalangan generasi muda kota itu, saat ini adalah, apa nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama ‘Tebing Tinggi’ muncul dalam data sejarah?

“Daerah itu bernama Kerajaan Padang,” tegas Amiruddin Damanik, 91, warga Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagei, suatu kali ketika penulis berbincang-bincang dengan dia. Jauh sebelum ada kampung Tebing Tinggi, ujarnya memulai cerita, sepanjang aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.

Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom dibawah Kerajaan Deli yang berpusat di Deli Tua, kata Amiruddin Damanik yang merupakan mantan penghulu di masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti --sekarang Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Rambutan-- yang merupakan pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. “Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang,” terang laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski pisiknya sudah sepuh.

Pusat administrasi Kerajaan Padang ini berada di sebuah bangunan bergaya arsitektur Eropah yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di Jalan KF Tandean. Bangunan itulah yang jadi saksi bisu keberadaan Kerajaan Padang, kata laki-laki yang memiliki sepuluh anak dan puluhan cucu serta cicit ini. Sedangkan istana raja lokasinya tidak berapa jauh dari pusat administrasi kerajaan. “Seingat saya, dulu istana itu masih ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi).

Historis Kerajaan Padang ini, lanjut dia, bisa dilacak juga melalui cerita lisan yang sambung menyambung, bermula dari memerintahnya seorang penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada juga beberapa pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir sebagai bendahara kerajaan.

Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing. Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tapi tunduk pada kekuasaan raja Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai Belanda. Di sebelah selatan Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar Khalifah --sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.

Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing, Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung Marulak-- menginformasikan bahwa di masa Kerajaan Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya Hindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.

Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang. Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak salah kediaman kapitan Cina iu masih ada di Jalan Iskandar Muda berhadapan dengan bekas bioskop Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu.

Disamping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di Jalan Cemara.

Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung Durian, Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk, Kampung Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya.
[sunting] Batas Kerajaan Padang

“Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah batas wilayah terjauh Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah menjadi tahanan politik di awal Orde Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe perangan dengan Kerajaan Raya. “Perang itu bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas penutur ini.

Asal terjadinya perang, urai Amiruddin, bermula dari seringnya muncul gangguan yang terkadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang Kerajaan Raya terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Kampung Bulian. Akibatnya, karena ketakutan penduduk Kampung Bulian ini banyak yang mengungsi hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan Padang kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksud dibuatnya jembatan ini untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.

Ternyata, dibuatnya jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang, sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan tidak tentram itu, Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan Panglima Daud untuk mengusir para pengacau itu. Maka dalam pengusiran itulah, Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya, hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di Kampung Bartong. Lalu, kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan Padang.

Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan di Bandar Khalifah, Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu, sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir. Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim menamatkan sekolahnya di Batavia.

Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis menjadi taklukan Kolonial Belanda. Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang dari tugas belajar.

Selesai menamatkan sekolah, kedua keturunan raja ini kemudian kembali ke Kerajaan Padang untuk melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk kekuasaan pertama jatuh ke tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah. Baru kemudian diserahkan kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di tangan Tengku Hasyim ini, gejolak menuntut kemerdekaan terhadap Kolonial Belanda menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan batas-batas yang ditentukan administrasi Kolonial Belanda. Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi Kota Tebing Tinggi.

Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut Kampung Tebing Tinggi.

Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi di masa lalu, setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di atas --meski merupakan data lisan-- sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Padang.

Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing Tinggi sebagai ibukota Kerajaan Padang harus kehilangan puluhan kampung yang dulunya merupakan bagian dari Kota Tebing Tinggi tempo doeloe itu. Sekali lagi hal ini membuktikan, ternyata penjajahan Kolonial Belanda telah merugikan Tebing Tinggi dalam soal administrasi kewilayahan. Sudah saatnya memang kita menagih kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang berdasarkan wilayah Kerajaan Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing Tinggi berdasarkan data historis itu.

Tidak ada komentar: